·
1. Tentang Pendidikan Nasional Dalam sejarah peradaban dan
kebudayaan umat manusia, eksistensi pendidikan telah menunjukkan perannya yang
amat penting. Sejarah juga telah mencatat bahwa bangsa-bangsa yang memiliki
tradisi pendidikan yang baik telah mengalami kemajuan peradaban dan kebudayaan
yang hebat. Di akhir perang dunia 2, setelah Nagasaki dan Hiroshima dibom atom
oleh tentara sekutu, Jepang nyaris lumpuh total dalam seluruh aspek
kehidupannya. Saat itu, Kaisar menyatakan bahwa tiada lagi yang tersisa selain
tanah dan air. Akal sehat mengatakan dibutuhkan waktu yang cukup lama bagi
Jepang untuk bangkit kembali. Namun, perkiraan akal sehat itu dijungkirbalikkan
oleh Jepang. Dalam waktu yang relatif singkat, Jepang mampu bangkit, bahkan
lebih powerfull daripada sebelum dibom atom, hingga mampu menyaingi Amerika.
Kebangkitan Jepang yang spektakuler tersebut menimbulkan pertanyaan besar dalam
benak kita, ‘Apa rahasia kebangkitan Jepang itu
?’ Konon, setelah Jepang menyerah kalah, kaisar Jepang mengumpulkan
pejabat-pejabat pemerintahannya, dan pertanyaan pertama yang beliau kemukakan
adalah "Berapa guru yang masih hidup ? Berapa sekolah yang masih
berdiri?" Apa artinya itu ? Bagi Sang Kaisar, tidak masalah Jepang
dihancurkan, asalkan sistem pendidikannya masih bisa dijalankan. Dan Jepang
telah membuktikan, kemajuan peradaban dan kebudayaannya disebabkan oleh
perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pendidikan nasionalnya. Kejadian serupa
juga terjadi pada bangsa Amerika. Pada 4 Oktober 1957, Uni Sovyet meluncurkan
Spotnic, pesawat luar angkasanya yang pertama. Kontan saja peristiwa itu
mengguncang seluruh negeri Amerika. Amerika yang menjadi pemenang dalam PD 2
justru kedahuluan Uni Sovyet dalam pengembangan teknologi luar angkasa.
Kejadian ‘memalukan’ ini ternyata telah membangkitkan semangat bangsa Amerika
untuk mengejar ketertinggalannya dari Uni Sovyet, musuh bebuyutannya kala itu.
Alhasil, pada tanggal 14 Juli 1969, bangsa Amerika telah berhasil meletakkan
manusia pertama di permukaan bulan. Artinya, hanya dalam waktu 12 tahun, mereka
mampu mengungguli teknologi angkasa luas Uni Sovyet. Sebuah pencapaian yang
maha dahsyat. Sekali lagi, pertanyaannya, apa rahasia kedahsyatan ini ? Ketika
bangsanya merasa dipermalukan oleh Uni Sovyet, presiden Amerika membentuk tim
khusus untuk menanggapi kejadian itu. Terhadap tim ini, presiden tidak
menginstruksikan menggali rahasia keberhasilan Uni Sovyet menggungguli mereka,
tapi member tugas tim untuk mengkaji ulang kurikulum pendidikan mereka, mulai
dari kurikulum tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Dalam situasi perang
dingin, tugas semacam itu tidak masuk akal bagi kebanyakan politisi Amerika
saat itu. Sebuah tugas yang akan sia-sia, pikir mereka. Namun, tim tetap
menjalankan tugasnya sesuai instruksi presiden. Akhirnya, dengan bekerja keras,
tim tersebut berhasil mengeluarkan statement yang menyatakan bahwa kurikulum
pendidikan Amerika dari semua jenjang pendidikan sudah tidak layak lagi dan
harus direvisi. Berikutnya, mereka mulai melakukan pembaharuan pendidikan dalam
segala dimensinya. Mulai dari kurikulum, jenis mata pelajaran, guru, system
pendidikan guru, fasilitas, sampai dengan sistem evaluasi
·
2. pendidikannya. Upaya keras itu
pun membuahkan hasil yang amat memuaskan. Dalam kurun 12 tahun, cita-cita mereka
bisa tergapai, mengungguli Uni Sovyet. Kedua ilustrasi di atas member gambaran
kepada kita bahwa pendidikan merupakan faktor determinan bagi kemajuan sebuah
bangsa. Lalu, bagaimana dengan bangsa kita ? Apakah dunia pendidikan kita telah
memainkan peran seperti itu ? Apa yang telah dihasilkan oleh Pendidikan
Nasional kita ? Jika boleh jujur, Pendidikan Nasional kita hanya mampu
menghasilkan murid-murid yang fasih menirukan teori-teori yang telah diajarkan
oleh gurunya; murid-murid yang tidak pernah mengerti mengapa mereka harus
mempelajari pelajaran ini-itu di sekolah; murid- murid yang hanya memikirkan
bagaimana mengerjakan soal-soal unas dengan benar; dan manusia-manusia yang
hanya bisa menggenggam selembar kertas bernama ijazah tanpa mengerti apa yang bisa
dilakukan terhadap diri dan masyarakat mereka. Di tingkat pendidikan tinggi,
keadaannya relatif tak jauh berbeda. Sarjana-sarjana kita hanya pandai
menirukan teori-teori asing alias menjadi pembebek, tanpa berani ( bisa ? )
melakukan inovasi atas teori-teori tersebut. Bahkan,tragisnya, para sarjana
kita, akan ramai-ramai mengeroyok jika ada sejawatnya yang berani coba-coba
mengemukakan teori penemuannya. Maka tak mengherankan, ketika negeri ini
dilanda krisis ekonomi berkepanjangan, kita tidak mendengar hasil studi sarjana
ekonomi kita membuahkan inovasi bagi penyelesaian krisis ekonomi masyarakat;
meski pun program studi pertanian telah tersebar ke se antero nusantara, tapi
di negeri sendiri, buah-buahan kita ‘dibantai’ oleh buah-buahan dari Thailand,
dan sarjana pertanian kita tak mampu berbuat apa-apa; karya-karya tulis
sarjana-sarjana kita masih jarang, yang banyak memenuhi bursa-bursa buku adalah
karya-karya terjemahan; dan masih banyak fakta memilukan karena pendidikan kita
yang tidak memadai. Fenomena di atas, mau tidak mau, harus membuat kita
melakukan kajian ulang mulai dari kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan,
kurikulum pendidikan sampai dengan proses belajar-mengajar di kelas-kelas.
Mengapa harus dilakukan kajian secara holistik, karena kesalahan-kesalahannya
terjadi di hampir segala lini. A. Pendidikan Yang Merata Di hampir semua
bangsa, tanggung-jawab mencerdasarkan bangsa terutama terletak di pundak
negara. Artinya, pemerintah bertanggung-jawab menyediakan pendidikan bagi
seluruh warganya. Semua warga negara usia sekolah punya hak mutlak untuk
memperoleh pendidikan formal sampai pada jenjang tertentu sesuai dengan
kemampuan pemerintah. Sejak lebih kurang dua dekade terakhir, pemerintah
Indonesia telah menetapkan bahwa jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama adalah termasuk pendidikan dasar. Dan juga telah diputuskan bahwa
setiap warga negara usia sekolah berhak untuk mendapatkan pendidikan dasar
secara gratis. Dengan demikian, baik warga negara yang miskin maupun yang kaya,
memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan dasar secara adil. Adil yang
dimaksud di sini, mestinya adil secara kuantitas dan kualitas. Pertanyaan kita
sekarang adalah sudahkah keadilan yang dimaksud sudah terjadi ? Dari sudut
kuantitas relatif sudah terjadi. Pada tahun 2009, sekurang-kurangnya 95% anak
usia 7-15 tahun telah memperoleh kesempatan untuk belajar sampai dengan sekolah
menengah pertama (SMP) atau yang sederajat. Namun perlu dicatat bahwa angka 95%
di atas bukanlah semata-mata karena keberhasilan pemerintah. Peran masyarakat
ternyata juga
·
3. cukup tinggi, terutama dalam hal
pendanaan. Menurut Ki Supriyoko, biaya satuan pendidikan yang harus dikeluarkan
oleh orangtua yang anaknya bersekolah di SD negeri mencapai angka Rp 5,967
juta, di SD swasta Rp 7,506 juta. Sementara yang anaknya bersekolah di SMP
negeri mencapai angka Rp 7,528 juta dan di SMP swasta mencapai Rp 7,862 juta.
Dari keterangan di atas, ternyata, meski pemerintah telah menetapkan anggaran
pendidikan nasional sebesar 20%, bukan berarti masyarakat benar-benar gratis
menikmati pendidikan dasar. Maka tak heran jika masyarakat miskin masih
kesulitan memperoleh akses pendidikan dasar yang bermutu. Sepengetahuan
penulis, hanyalah sekolah-sekolah ( maaf ) swasta yang relatif tidak bermutu yang
‘berani’ menggratiskan biaya pendidikan pada murid-muridnya. Dari mana
sekolah-sekolah ini membiayai operasional sekolah dan gaji guru-gurunya? Dari
dana BOS ! Dengan begitu, ke depan, pemerintah dituntut lebih sungguh-sungguh
dalam mewujudkan amanat UU Sisdiknas pasal 34. Sebagaimana kita ketahui bahwa
bunyi pasal 34 tersebut adalah sebagai berikut : (1) Setiap warga negara yang
berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. (2) Pemerintah dan
pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang
pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan tanggung
jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat. Saat ini, pemerintah telah menetapkan
besaran dana pendidikan nasional sebesar 20% dari total APBN. Disetujuinya
anggaran pendidikan nasional sebesar 20% ini merupakan sebuah perjuangan yang
panjang karena harus berhadapan dengan ego masing-masing departemen. Namun,
penetapan anggaran sebesar 20% tersebut bukan berarti masalah-masalah
pendidikan, meski pun yang berkaitan dengan jumlah anggaran, bisa dianggap
selesai. Jika anggaran sebesar itu tidak bisa dimanfaatkan dengan tepat,
efektif, efisien dan bebas penyimpangan, maka peningkatan anggaran pendidikan
ini akan menjadi sia-sia. Yang pertama, anggaran sebesar itu, pemanfaatannya
harus melalui perencanaan yang matang. Artinya, pemanfaatannya harus
mempertimbangkan unsur keadilan. Peningkatan anggaran pendidikan nasional ini
bukan hanya untuk peningkatan kesejahteraan para pendidik dan pengelola
pendidikan saja, tetapi juga untuk meningkatkatkan kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan. Boleh saja pemerintah menaikkan pendapatan para pendidik
dan pengelola pendidikan, tetapi peningkatan kesejahteraan tersebut harus
diimbangi dengan peningkatan profesionalisme mereka. Karena itu, mekanismenya
perlu dirancang sebaik mungkin sebelum peningkatan kesejahteraan mereka
dilakukan. Jangan sampai seperti yang terjadi pada proses sertifikasi guru
selama ini. Karena proses sertifikasi yang dilakukan tidak memadai, maka
pemberian tunjangan profesi kepada guru-guru kurang mendorong peningkatan
profesionalisme mereka. Ini berarti bahwa peningkatan kesejahteraan pendidik
tidak berimplikasi bagi kesejahteraan masyarakat secara umum. Tuntutan keadilan
berikutnya adalah berkaitan dengan pemberian pelayanan pendidikan bagi
masyarakat secara umum. Dengan mata telanjang, saat ini kita bisa melihat
ketimpangan- ketimpangan dalam penyaluran dana kepada sekolah-sekolah yang ada
di tanah air. Sekolah- sekolah diperkotaan, terutama yang dipandang lebih maju,
sangat sering mendapat gelontoran dana dari pemerintah. Sementara, sebagian
besar sekolah yang berada di pedesaan atau sekolah yang dianggap kurang
berprestasi jarang memperoleh dana dari pemerintah. Akibatnya, ketimpangan
sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah-sekolah yang dipandang
·
4. maju dengan sekolah-sekolah
lainnya semakin lebar. Karena, salah satu determinan keunggulan lembaga
pendidikan adalah besarnya anggaran pengembangan yang dimiliki. Dan yang lebih
memilukan, ‘sekolah-sekolah maju’ ini biasanya mematok harga yang cukup mahal
bagi siswa-siswanya. Pasalnya, sekolah dengan fasilitas relatif ‘glamour’ ini
pasti menjadi rebutan masyarakat. Maka, berapa pun tarif yang dikenakan kepada
siswa, sekolah- sekolah demikian pasti menjadi rebutan. Siswa-siswa yang ingin
masuk ke sana harus melalui arena persaingan yang sangat ketat. Dan parameter
untuk diterima di sekolah-sekolah tersebut adalah tingkat status sosial
orangtua siswa. Dengan parameter demikian, anaknya orang miskin menjadi
‘diharamkan menginjakkan kaki’ di sekolah-sekolah favorit tersebut. Dengan
begitu, pemanfaatan anggaran pendidikan untuk pengembangan sarana pendidikan
telah menjadi sarana yang mempertajam segregasi sosial. Padahal, seharusnya
anggaran tersebut menjadi sarana untuk menciptakan keadilan di tengah
masyarakat. Dengan fenomena di atas, harus dibuat aturan yang jelas untuk
menyalurkan anggaran pendidikan tersebut. Anggaran pendidikan nasional seharusnya
berfungsi untuk memberikan pelayanan pendidikan yang adil dan merata bagi
seluruh masyarakat. Untuk itu, maka pertama kali yang harus dilakukan adalah
menetapkan standard bagi sarana dan prasarana lembaga pendidikan yang berlaku
secara nasional. Kemudian, dengan parameter tersebut, dilakukan pemetaan bagi
sekolah-sekolah yang ada. Dari sini akan ditemukan sekolah- sekolah yang berada
di bawah standard. Tahap berikutnya adalah merencanakan pembiayaan bagi
peningkatan kualitas sekolah-sekolah di bawah standard ini. Peningkatan
kualitas ini tentu bukan saja dalam bidang sarana, tetapi juga meliputi
manajemen, SDM, serta layanan penunjang pendidikan lainnya. Dengan begitu,
disparitas antara sekolah maju dan sekolah terbelakang bisa direduksi. Dan
akhirnya, seluruh warga masyarakat, baik kaya mau pun miskin, akan dapat
memperoleh pelayanan pendidikan secara relatif adil. Yang kedua, penggunaan
anggaran pendidikan harus disertai mekanisme kontrol yang memadai. Sudah bukan
menjadi rahasia lagi bahwa depdiknas merupakan salah satu institusi tempat
tumbuh suburnya tindakan korupsi. Sebagai contoh, berdasarkan audit BPK
diketahui bahwa terdapat “6 dari sepuluh sekolah menyimpangkan dana BOS dengan
rata-rata penyimpangan Rp 13,7 juta persekolah”. Selain itu, berdasarkan audit
BPK juga diketahui “3 dari dinas kabupaten/kota mengarahkan pengelolaan dana
DAK pada pihak ketiga”. Terakhir, berdasarkan perhitungan ICW terhadap audit
BPK terhadap anggaran Depdiknas sampai semester I tahun 2007, diketahui
terdapat dana sekitar Rp 852,7 miliar yang berpotensi diselewengkan.(
AkhmadSudrajat :
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/09/23/inilah-korupsi-di-dunia-pendidikan-kita/
) Untuk mereduksi praktek-praktek korupsi di dunia pendidikan, maka diperlukan
langkah- langkah sebagai berikut : 1. Meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan di Depdiknas. Jika perlu, laporan-laporan 2.
Memaksimalkan peranan Komite Sekolah. Barangkali kita semua sudah mahfum bahwa
peranan Komite Sekolah saat ini tak ubahnya dengan peranan BP3 jaman
sebelumnya. Peranannya sebatas tukang stempel hasrat pihak sekolah untuk
mengeruk dana masyarakat untuk kepentingan yang kurang bisa
dipertanggung-jawabkan. Maka, perlu dibuat regulasi untuk lebih memberdayakan
peran komite sekolah dalam mengontrol penggunaan dana oleh manajemen sekolah.
3. Pemerintah harus menetapkan angka maksimal yang boleh ditarik dari orangtua
siswa oleh sekolah. Pembatasan ini diperlukan untuk mencegah perilaku
ugal-ugalan pihak sekolah dalam mengeruk dana masyarakat ( orantua siswa ). 4.
Meningkatkan penindakan terhadap kasus korupsi di dunia pendidikan. Peningkatan
seperti ini perlu dilakukan mengingat potensi kerugian negara akibat korupsi di
dunia pendidikan
·
5. cukup tinggi, apalagi jika
diingat bahwa saat ini anggaran pendidikan saat ini cukup tinggi. Jika perlu,
dibentuk komisi khusus ( semacam KPK ) yang dikhususkan menangani korupsi di
dunia pendidikan. Komisi ini memiliki kewenangan menindak korupsi mulai dari
tingkat kementerian hingga tingkat sekolah. Jika saja anggaran pendidikan
sebesar 20% digunakan dengan perencanaan yang matang, dengan memperhatikan azas
pemerataan dan keadilan, dan dengan mekanisme kontrol yang memadai, maka
cita-cita memberikan pendidikan dasar gratis bagi semua bukan lagi menjadi mimpi.
Bahkan, bisa jadi untuk jenjang menengah atas juga bisa digratiskan. Hal ini
perlu menjadi pertimbangan serius, mengingat, untuk bisa bekerja dengan
penghasilan relatif layak, seseorang harus tamat jenjang menengah atas. B.
Tujuan Pendidikan Nasional Yang Memberdayakan Para ahli berpendapat bahwa saat
ini bangsa kita mengalami krisis multidimensional. Artinya, kita sedang
mengalami krisis di bidang ekonomi, politik, ideologi, budaya dan lainnya.
Mengapa hal ini terjadi ? Prof. Dr. Soedijarto, MA dalam bukunya ‘Landasan dan
Arah Pendidikan Nasional’ memandang bahwa hal ini ( krisis multidimensional )
terjadi tidak lain karena pendidikan yang kita selenggarakan belum bermakna
sebagai transformasi budaya menuju mantapnya kehidupan negara bangsa Indonesia.
Belum mantapnya sistem politik, belum mapannya sistem ekonomi nasional, tetap
rendahnya produktivitas dan etos kerja nasional, belum adanya suatu pola budaya
nasional yang andal, dan rentannya solidaritas dan ketahanan nasional, bukan
karena belum diadakannya berbagai lembaga politik atau belum tersedianya infra
struktur politik seperti partai politik dan media pers, dan juga bukan karena
belum adanya lembaga-lembaga ekonomi dan berbagai lembaga kebudayaan lainnya
seperti lembaga riset dan kajian, melainkan karena belum tertananmnya di dalam
diri setiap warga negara nilai-nilai budaya modern. ( halaman 91 ) Mengapa ini
terjadi ? Karena rancangan pendidikan kita tidak mengupayakan
terinternalisasikannya nilai-nilai modern pada diri peserta didik. Pendidikan kita
lebih mengutamakan hafalan-hafalan teori dan ketrampilan-ketrampilan teknik
semata, seraya mengabaikan nilai-nilai hidup modern. Maka, tidak mengherankan
jika anak-anak muda kita fasih lidahnya mengucapkan teori-teori yang diberikan
gurunya dan menguasai ketrampilan- ketrampilan tehnik, tetapi kurang memahami
bagaimana dengan itu mereka dapat berbuat untuk diri dan bangsanya. Selain itu,
kurikulum pendidikan kita juga relatif mengabaikan potensi-potensi bawaan
peserta didik. Di sini, tampaknya ada kesalahan kita di dalam memaknai arti
mendidik. Jika dilihat dari praktek-praktek yang terjadi di dunia pendidikan
kita selama ini, sepertinya yang dinamakan mendidik adalah ‘memasukkan’
teori-teori dan ketrampilan yang disayaratkan oleh kurikulum kepada peserta didik.
Peserta didik yang tidak mampu menguasai teori dan praktek yang dipersyaratkan
tersebut akan dianggap gagal dalam proses pendidikannya. Dengan praktek
pendidikan yang demikian, dunia pendidikan kita berpretensi akan menghasilkan
manusia-manusia yang relatif sama dan sebangun. Dalam model seperti ini, tidak
memungkinkan bagi pertumbuhan potensi-petensi yang menjadi karakteristik
individu masing-masing pesrta didik. Maka, akibat logisnya adalah dunia
pendidikan kita tidak mampu melahirkan manusia-manusia kreatif dan inovatif.
Dunia pendidikan kita hanya mampu menghasilkan manusia-manusia pembebek dan
tukang. Di dalam mendidik, Ki Hajar Dewantoro berpandangan bahwa pendidikan
merupakan tuntunan bagi berkembangnya anak-anak. Mereka adalah makhluk hidup yang
memiliki kodrat dan potensi tumbuh dan berkembangnya masing-masing. Tugas
pendidik adalah membantu mereka untuk menumbuh-kembangkan kodrat dan potensinya
masing-masing
·
6. untuk mencapai derajad optimal.
Pendidik tidak bisa dan tidak boleh memaksakan kehendak bagi kodrat anak-anak
seperti keinginan pendidik. Pemaksaan seperti ini identik dengan penjajahan.
Seperti dikemukakan di atas, penajahan bertentangan dengan kodrat dan cita-cita
pendidikan Ki Hajar Dewantoro. Beliau memberi analog yang mudah dimengerti
untuk ini. Seorang petani tidak bisa merubah padi menjadi jagung. Jika ia
menanam padi, panennya pasti padi. Ia tidak bisa merubah kodrat tersebut. Apa
yang bisa ia lakukan adalah menumbuhkan padi dengan memperbaiki tanahnya,
memberinya pupuk, memelihara tanamannya, dan menghilangkan hamanya. Tugas
pendidik relatif sama dengan petani. Ia, seharusnya, hanya berperan dalam
membimbing anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan, bakat dan segenap potensi
anak didiknya bagi keberhasilan hidupnya di masa akan datang. Pendidik tidak
bisa merubah kodrat kecerdasan, bakat dan potensi peserta didiknya. Setelah
itu, pendidik juga harus membantu peserta didik menangkal pengaruh-pengaruh
jahat ( hama ) yang bisa merusak dirinya, sehingga pertumbuhan dan
perkembangannya bisa optimal. Di dalam pendidikan, hama-hama apa saja yang
dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pribadi peserta didik ? Pada
hemat penulis, ada dua macam ‘hama’ yang dapat menganggu proses tersebut, yakni
yang berasal dari internal dan eksternal. Yang dimaksud dari internal adalah
‘hama’ yang berasal dari sifat kodrati manusia itu sendiri. Sedangkan yang dari
luar adalah pengaruh-pengaruh dari lingkungan hidup individu bersangkutan. Apa
wujud ‘hama’ yang melekat di dalam diri manusia ? Menurut Frued, manusia itu
memiliki kecenderungan mencari kesenangan dan suka bermalas-malasan. Kedua
kecenderungan tersebut, jika tidak dikendalikan, akan sangat menghambat proses
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, baik masa sekarang mau pun masa
yang akan datang. Sedangkan faktor eksternal ialah hal-hal yang bisa
berpengaruh negatif bagi diri peserta didik yang berasal dari luar dirinya.
Yang perlu dipahami bahwa faktor eksternal tersebut bisa berpengaruh negatif
karena ditujukan untuk ‘memuaskan’ hasrat dari kedua kecenderungan di atas.
Pengaruh-pengaruh yang mendukung sifat malas dan suka bersenang-senang ini bisa
dikendalikan jika sejak anak-anak telah dididik untuk memperkuat potensi
rasional mereka. Oleh karena itu, setiap manusia harus mampu mengelola dua
kecenderungan tersebut. Di sinilah letak dari peranan dunia pendidikan, yakni
melatih peserta didik agar memiliki komampuan mengelola
kecenderungan-kecenderungan itu supaya bisa mengoptimalkan potensi-potensi
pribadinya masing-masing. Dengan paradigma seperti ini, model-model yang
mengukur keberhasilan peserta didik dengan patokan tertentu atau dengan
membandingkan prestasi seseorang dengan rata-rata kelas tidaklah bisa
dibenarkan. Model pengukuran seperti ini dapat merusak kepercayaan diri peserta
didik. Selain itu, model seperti itu jelas berasumsi bahwa setiap orang ‘harus’
memiliki kemampuan yang relatif sama. Perbedaan ( di grade bawah dari rata-rata
) dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Karena itu, model ini jelas mengabaikan
karakteristik individu masing-masing peserta didik. Dari uraian di atas, bisa
disimpulkan bahwa tujuan pendidikan nasional itu mesti meliputi dua segi.
Pertama, mempersiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan berpartisipasi
bagi pembangunan bangsa. Ini dicapai dengan memberikan teori-teori dan
ketrampilan tertentu, serta dengan penanaman nilai-nilai budaya modern. Kedua,
pendidikan juga bertujuan mengembangkan potensi, minat dan bawaan yang dimiliki
masing-masing siswa. C. Model Penilaian Yang Memberdayakan Apakah dengan model
pendidikan seperti yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantoro di atas tidak
memberlakukan adanya evaluasi ? Jelas bukan demikian. Evaluasi terhadap proses
belajar mengajar tetap diperlukan untuk mengukur tingkat keberhasilan atau
pencapaian hasil
·
7. belajar peserta didik. Tetapi
evaluasi yang dikembangkan pasti tidak sama dengan yang dilakukan oleh sebagian
besar guru-guru kita saat ini. Selama ini, yang disebut evaluasi hasil belajar
itu selalu dilakukan diakhir sebuah periode pembelajaran. Pada peserta didik
diberi soal-soal yang harus dijawab. Tes tersebut umumnya berupa menjawab
pertanyaan-pertanyaan seputar segala pengetahuan yang pernah disampaikan sang
guru sebelumnya. Semakin banyak yang diingat dari pengetahuan yang diberikan
guru, murid dikatakan semakin pandai. Sebaliknya, jika jawaban-jawaban murid
banyak yang tidak sama dengan yang pernah diterangkan oleh gurunya, yang
bersangkutan diberi stigma bodoh. Bukankah arti dari penilaian yang menggunakan
skala A sampai E, atau angka 1 sampai 10/100 berarti sebuah skala dari paling
bodoh sampai paling pandai ? Jika pendidikan diasumsikan sebagai bimbingan yang
diberikan kepada peserta didik untuk mengembangkan segala potensinya, maka
model evaluasi hasil belajarnya bertentangan dengan model penilaian seperti
digambarkan di atas. Evaluasi di dalam model ini adalah berupa bantuan kepada
peserta didik untuk mengenali kelemahan-kelemahannya dalam proses belajarnya.
Model pembelajaran seperti ini berasumsi bahwa setiap peserta didik memiliki
keinginan, harapan atau tujuan masing-masing di dalam belajarnya sesuai dengan
bakat, minat dan potensinya masing-masing. Tugas guru adalah membantu peserta
didiknya untuk mewujudkan tujuannya masing-masing. Nah, di dalam mencapai
tujuan ini pasti masing- masing murid akan menemui masalah-masalah. Di sinilah
peran evaluasi belajar. Guru memberi feedback kepada masing-masing murid
tentang kelemahan-kelemahan muridnya dan membantu mereka mengatasi
kelemahan-kelemahan tersebut. Dengan demikian, evaluasi belajar dilakukan selama
proses belajar muridnya. Dan, dari uraian tersebut juga jelas bahwa yang paling
berkompeten melakukan evaluasi belajar bagi murid-murid hanyalah gurunya,
karena merekalah yang paling tahu potensi-potensi murid. Menteri pendidikan
tidak memiliki hak untuk menilai dan menentukan kelulusan murid sebagaimana
sekarang melalui Unas. D. Ujian Negara Dengan paradigma pendidikan seperti
digambarkan di atas, apakah ujian negara atau yang saat ini dikenal dengan Unas
tidak diperlukan ? Tentu ujian negara tetap diperlukan. Tetapi eksistensi Unas
ini bukanlah untuk menentukan kelulusan siswa dari jenjang pendidikan tertentu.
Karena, yang paling mengetahui keadaan siswa adalah guru. Jadi, yang paling
berhak menentukan kelulusan adalah guru. Sedangkan hasil Unas digunakan untuk
melakukan pemetaan sekolah-sekolah. Dari hasil Unas ini, akan bisa ditentukan
sekolah-sekolah mana yang dikategorikan di bawah standard. Setelah dipetakan,
lalu dilakukan langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan kualitas
sekolah-sekolah yang berada di bawah standard tersebut. Perbaikan yang dimaksud
bisa meliputi kualitas gurunya, para pengelolanya, sarana prasananya,
manajemennya dan lain- lain. Selain itu, hasil Unas juga bisa sebagai seleksi
masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, jika Unas digunakan untuk
tujuan ini, maka harus dibuatkan sebuah sistem yang aman dari berbagai
kecurangan dalam pelaksanaan Unas seperti saat ini. Baik kecurangan yang
dilakukan oleh siswa, guru, sekolah maupun pihak-pihak lain. Selain itu, dalam
pembuatan soal-soal yang di-Unas-kan harus melibatkan pihak-pihak dari jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, janjang pendidikian yang akan dimasuki oleh
siswa-siswa tersebut setelah lulus Unas. E. Bahasa Pengantar Last but not
least, bahasa pengantar yang digunakan di seluruh jenjang pendidikan
menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan Inggris. Sebagai bahasa
internasional
·
8. adalah wajar jika semua siswa
harus menguasai bahasa Inggris, baik pasif maupun aktif. Selain itu, bahasa
Ingrris terbukti telah mampu sebagai sarana bahasa Ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan demikian, bahasa Inggris sudah bukan lagi sebagai salah satu
mata pelajaran, namun harus ditetapkan sebagai bahasa pengantar di
sekolah-sekolah kita. Untuk tahap awal, tentu digunakan sebagai bahsa pengantar
untuk beberapa mata pelajaran saja. Terutama pelajaran-pelajaran sosial. Lalu,
sedikit demi sedikit, pelajaran lain menyusul menggunakan bahasa internasional
ini.