Selasa, 09 Juli 2013

Faktor Pendidikan Lingkungan

Faktor Lingkungan

Pada dasarnya lingkungan mencakup:
a. Tempat (Lingkungan Fisik); keadaan iklim, keadaan tanah, keadaan alam. 
b. Kebudayaan (Lingkungan Budaya); dengan warisan budaya tertentu bahasa, seni, ekonomi, ilmu pengetahuan, pandangan hidup, keagamaan. 
c. Kelompok hidup bersama (Lingkungan sosial atau masyarakat) keluarga, kelompok bermain, desa, perkumpulan. 

Menurut Ki Hajar Dewantara lingkungan pendidikan meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan organisasi pemuda, yang ia sebut dengan Tri Pusat Pendidikan

a. Lingkungan Keluarga (Komunitas utama)

Pendidikan Keluarga berfungsi:
1. Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak.
2. Menjamin kehidupan emosional anak.
3. Menanamkan dasar pendidikan moral.
4. Memberikan dasar pendidikan sosial.
5. Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak. 

b. Lingkungan Sekolah
Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam ketrampilan. Karena jika ditilik dari sejarah perkembangan profesi guru, tugas mengajar sebenarnya adalah pelimpahan dari tugas orang tua karena tidak mampu lagi memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap-sikap tertentu sesuai dengan perkembangan zaman. 

Fungsi Sekolah antara lain:
1. Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik. 
2. Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah.
3. Sekolah melatih anak-anak memperoleh keahlian-keahlian seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain yang sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.
4. Di sekolah diberikan pelajaran etika , keagamaan , estetika, membedakan moral 
5. Memelihara warisan budaya yang hidup dalam masyarakat dengan jalan menyampaikan warisan kebudayaan kepada generasi muda, dalam hal ini tentunya anak didik. 

c. Lingkungan Organisasi Pemuda
Peran organisasi pemuda yang terutama adalah mengupayakan pengembangan sosialisasi kehidupan pemuda. Melalui organisasi pemuda berkembanglah semacam kesadaran sosial , keahlian-keahlian di dalam pergaulan dengan sesama kawan (kemampuan bersosial) dan sikap yang tepat di dalam membina hubungan dengan sesama manusia (perilaku bersosial).

anak didik

Faktor Anak Didik



Anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan.  Sedang dalam arti sempit anak didik ialah anak (pribadi yang belum dewasa) yang diserahkan kepada tanggung jawab pendidik.. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar adalah adanya perubahan tingkah laku dalam dirinya.. Dengan demikian, pendidikan berusaha untuk membawa anak yang semula serba tidak berdaya, yang hampir keseluruhan hidupnya menggantungkan diri pada orang lain, ke tingkat dewasa, yaitu keadaan di mana anak sanggup berdiri sendiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, baik secara individual, secara sosial maupun secara susila. 

Tujuan dan faktor pendidik

Faktor Tujuan

Di dalam UU Nomor 2 tahun 1989 secara jelas disebutkan Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu "Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantab dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan."
Sesungguhnya faktor tujuan bagi pendidikan adalah:
a. Sebagai Arah Pendidikan, tujuan akan menunjukkan arah dari suatu usaha, sedangkan arah menunjukkan jalan yang harus ditempuh dari situasi sekarang kepada situasi berikutnya.
b. Tujuan sebagai titik akhir, suatu usaha pasti memiliki awal dan akhir. Mungkin saja ada usaha yang terhenti karena sesuatu kegagalan mencapai tujuan, namun usaha itu belum bisa dikatakan berakhir. Pada umumnya, suatu usaha dikatakan berakhir jika tujuan akhirnya telah tercapai.
c. Tujuan sebagai titik pangkal mencapai tujuan lain, apabila tujuan merupakan titik akhir dari usaha, maka dasar ini merupakan titik tolaknya, dalam arti bahwa dasar tersebut merupakan fundamen yang menjadi alas permulaan setiap usaha.
d. Memberi nilai pada usaha yang dilakukan

Faktor Pendidik

Pendidik adalah orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik.
a. Orang Dewasa
b. Orang Tua
c. Guru
d. Pemimpin Masyarakat
e. Pemimpin Agama
Karakteristik yang harus dimiliki pendidik dalam melaksanakan tugasnya dalam mendidik yaitu :
a. kematangan diri yang stabil, memahami diri sendiri, mandiri, dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan.
b. kematangan sosial yang stabil, memiliki pengetahuan yang cukup tentang masyarakat, dan mempunyai kecakapan membina kerjasama dengan orang lain.
c. kematangan profesional (kemampuan mendidik), yaitu menaruh perhatian dan sikap cinta terhadap anak didik serta mempunyai pengetahuan yang cukup tentang latar belakang anak didik dan perkembangannya, memiliki kecakapan dalam menggunkan cara-cara mendidik.
Kriteria kualitas guru yang dibutuhkan dalam pendidikan adalah :
a. Guru sebagai perencana
b. Guru sebagai penginisiasi
c. Guru sebagai pemotivasi
d. Guru sebagai pengamat
e. Guru sebagai pengantisipasi
f. Guru sebagai model
g. Guru sebagai pengevaluasi
h. Guru sebagai teman berjelajah bersama anak didik
i. Promotor agar anak menjadi pembelajar sejati 

Pendidikan

Pada dasarnya pengertian pendidikan ( UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 ) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Sedangkan pengertian pendidikan menurut H. Horne, adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
Dari beberapa pengertian pendidikan menurut ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan adalah Bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

Tentang pendidikan nasional

·         1. Tentang Pendidikan Nasional Dalam sejarah peradaban dan kebudayaan umat manusia, eksistensi pendidikan telah menunjukkan perannya yang amat penting. Sejarah juga telah mencatat bahwa bangsa-bangsa yang memiliki tradisi pendidikan yang baik telah mengalami kemajuan peradaban dan kebudayaan yang hebat. Di akhir perang dunia 2, setelah Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh tentara sekutu, Jepang nyaris lumpuh total dalam seluruh aspek kehidupannya. Saat itu, Kaisar menyatakan bahwa tiada lagi yang tersisa selain tanah dan air. Akal sehat mengatakan dibutuhkan waktu yang cukup lama bagi Jepang untuk bangkit kembali. Namun, perkiraan akal sehat itu dijungkirbalikkan oleh Jepang. Dalam waktu yang relatif singkat, Jepang mampu bangkit, bahkan lebih powerfull daripada sebelum dibom atom, hingga mampu menyaingi Amerika. Kebangkitan Jepang yang spektakuler tersebut menimbulkan pertanyaan besar dalam benak kita, ‘Apa rahasia kebangkitan Jepang itu ?’ Konon, setelah Jepang menyerah kalah, kaisar Jepang mengumpulkan pejabat-pejabat pemerintahannya, dan pertanyaan pertama yang beliau kemukakan adalah "Berapa guru yang masih hidup ? Berapa sekolah yang masih berdiri?" Apa artinya itu ? Bagi Sang Kaisar, tidak masalah Jepang dihancurkan, asalkan sistem pendidikannya masih bisa dijalankan. Dan Jepang telah membuktikan, kemajuan peradaban dan kebudayaannya disebabkan oleh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pendidikan nasionalnya. Kejadian serupa juga terjadi pada bangsa Amerika. Pada 4 Oktober 1957, Uni Sovyet meluncurkan Spotnic, pesawat luar angkasanya yang pertama. Kontan saja peristiwa itu mengguncang seluruh negeri Amerika. Amerika yang menjadi pemenang dalam PD 2 justru kedahuluan Uni Sovyet dalam pengembangan teknologi luar angkasa. Kejadian ‘memalukan’ ini ternyata telah membangkitkan semangat bangsa Amerika untuk mengejar ketertinggalannya dari Uni Sovyet, musuh bebuyutannya kala itu. Alhasil, pada tanggal 14 Juli 1969, bangsa Amerika telah berhasil meletakkan manusia pertama di permukaan bulan. Artinya, hanya dalam waktu 12 tahun, mereka mampu mengungguli teknologi angkasa luas Uni Sovyet. Sebuah pencapaian yang maha dahsyat. Sekali lagi, pertanyaannya, apa rahasia kedahsyatan ini ? Ketika bangsanya merasa dipermalukan oleh Uni Sovyet, presiden Amerika membentuk tim khusus untuk menanggapi kejadian itu. Terhadap tim ini, presiden tidak menginstruksikan menggali rahasia keberhasilan Uni Sovyet menggungguli mereka, tapi member tugas tim untuk mengkaji ulang kurikulum pendidikan mereka, mulai dari kurikulum tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Dalam situasi perang dingin, tugas semacam itu tidak masuk akal bagi kebanyakan politisi Amerika saat itu. Sebuah tugas yang akan sia-sia, pikir mereka. Namun, tim tetap menjalankan tugasnya sesuai instruksi presiden. Akhirnya, dengan bekerja keras, tim tersebut berhasil mengeluarkan statement yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan Amerika dari semua jenjang pendidikan sudah tidak layak lagi dan harus direvisi. Berikutnya, mereka mulai melakukan pembaharuan pendidikan dalam segala dimensinya. Mulai dari kurikulum, jenis mata pelajaran, guru, system pendidikan guru, fasilitas, sampai dengan sistem evaluasi
·         2. pendidikannya. Upaya keras itu pun membuahkan hasil yang amat memuaskan. Dalam kurun 12 tahun, cita-cita mereka bisa tergapai, mengungguli Uni Sovyet. Kedua ilustrasi di atas member gambaran kepada kita bahwa pendidikan merupakan faktor determinan bagi kemajuan sebuah bangsa. Lalu, bagaimana dengan bangsa kita ? Apakah dunia pendidikan kita telah memainkan peran seperti itu ? Apa yang telah dihasilkan oleh Pendidikan Nasional kita ? Jika boleh jujur, Pendidikan Nasional kita hanya mampu menghasilkan murid-murid yang fasih menirukan teori-teori yang telah diajarkan oleh gurunya; murid-murid yang tidak pernah mengerti mengapa mereka harus mempelajari pelajaran ini-itu di sekolah; murid- murid yang hanya memikirkan bagaimana mengerjakan soal-soal unas dengan benar; dan manusia-manusia yang hanya bisa menggenggam selembar kertas bernama ijazah tanpa mengerti apa yang bisa dilakukan terhadap diri dan masyarakat mereka. Di tingkat pendidikan tinggi, keadaannya relatif tak jauh berbeda. Sarjana-sarjana kita hanya pandai menirukan teori-teori asing alias menjadi pembebek, tanpa berani ( bisa ? ) melakukan inovasi atas teori-teori tersebut. Bahkan,tragisnya, para sarjana kita, akan ramai-ramai mengeroyok jika ada sejawatnya yang berani coba-coba mengemukakan teori penemuannya. Maka tak mengherankan, ketika negeri ini dilanda krisis ekonomi berkepanjangan, kita tidak mendengar hasil studi sarjana ekonomi kita membuahkan inovasi bagi penyelesaian krisis ekonomi masyarakat; meski pun program studi pertanian telah tersebar ke se antero nusantara, tapi di negeri sendiri, buah-buahan kita ‘dibantai’ oleh buah-buahan dari Thailand, dan sarjana pertanian kita tak mampu berbuat apa-apa; karya-karya tulis sarjana-sarjana kita masih jarang, yang banyak memenuhi bursa-bursa buku adalah karya-karya terjemahan; dan masih banyak fakta memilukan karena pendidikan kita yang tidak memadai. Fenomena di atas, mau tidak mau, harus membuat kita melakukan kajian ulang mulai dari kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan, kurikulum pendidikan sampai dengan proses belajar-mengajar di kelas-kelas. Mengapa harus dilakukan kajian secara holistik, karena kesalahan-kesalahannya terjadi di hampir segala lini. A. Pendidikan Yang Merata Di hampir semua bangsa, tanggung-jawab mencerdasarkan bangsa terutama terletak di pundak negara. Artinya, pemerintah bertanggung-jawab menyediakan pendidikan bagi seluruh warganya. Semua warga negara usia sekolah punya hak mutlak untuk memperoleh pendidikan formal sampai pada jenjang tertentu sesuai dengan kemampuan pemerintah. Sejak lebih kurang dua dekade terakhir, pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah pertama adalah termasuk pendidikan dasar. Dan juga telah diputuskan bahwa setiap warga negara usia sekolah berhak untuk mendapatkan pendidikan dasar secara gratis. Dengan demikian, baik warga negara yang miskin maupun yang kaya, memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan dasar secara adil. Adil yang dimaksud di sini, mestinya adil secara kuantitas dan kualitas. Pertanyaan kita sekarang adalah sudahkah keadilan yang dimaksud sudah terjadi ? Dari sudut kuantitas relatif sudah terjadi. Pada tahun 2009, sekurang-kurangnya 95% anak usia 7-15 tahun telah memperoleh kesempatan untuk belajar sampai dengan sekolah menengah pertama (SMP) atau yang sederajat. Namun perlu dicatat bahwa angka 95% di atas bukanlah semata-mata karena keberhasilan pemerintah. Peran masyarakat ternyata juga
·         3. cukup tinggi, terutama dalam hal pendanaan. Menurut Ki Supriyoko, biaya satuan pendidikan yang harus dikeluarkan oleh orangtua yang anaknya bersekolah di SD negeri mencapai angka Rp 5,967 juta, di SD swasta Rp 7,506 juta. Sementara yang anaknya bersekolah di SMP negeri mencapai angka Rp 7,528 juta dan di SMP swasta mencapai Rp 7,862 juta. Dari keterangan di atas, ternyata, meski pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan nasional sebesar 20%, bukan berarti masyarakat benar-benar gratis menikmati pendidikan dasar. Maka tak heran jika masyarakat miskin masih kesulitan memperoleh akses pendidikan dasar yang bermutu. Sepengetahuan penulis, hanyalah sekolah-sekolah ( maaf ) swasta yang relatif tidak bermutu yang ‘berani’ menggratiskan biaya pendidikan pada murid-muridnya. Dari mana sekolah-sekolah ini membiayai operasional sekolah dan gaji guru-gurunya? Dari dana BOS ! Dengan begitu, ke depan, pemerintah dituntut lebih sungguh-sungguh dalam mewujudkan amanat UU Sisdiknas pasal 34. Sebagaimana kita ketahui bahwa bunyi pasal 34 tersebut adalah sebagai berikut : (1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Saat ini, pemerintah telah menetapkan besaran dana pendidikan nasional sebesar 20% dari total APBN. Disetujuinya anggaran pendidikan nasional sebesar 20% ini merupakan sebuah perjuangan yang panjang karena harus berhadapan dengan ego masing-masing departemen. Namun, penetapan anggaran sebesar 20% tersebut bukan berarti masalah-masalah pendidikan, meski pun yang berkaitan dengan jumlah anggaran, bisa dianggap selesai. Jika anggaran sebesar itu tidak bisa dimanfaatkan dengan tepat, efektif, efisien dan bebas penyimpangan, maka peningkatan anggaran pendidikan ini akan menjadi sia-sia. Yang pertama, anggaran sebesar itu, pemanfaatannya harus melalui perencanaan yang matang. Artinya, pemanfaatannya harus mempertimbangkan unsur keadilan. Peningkatan anggaran pendidikan nasional ini bukan hanya untuk peningkatan kesejahteraan para pendidik dan pengelola pendidikan saja, tetapi juga untuk meningkatkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Boleh saja pemerintah menaikkan pendapatan para pendidik dan pengelola pendidikan, tetapi peningkatan kesejahteraan tersebut harus diimbangi dengan peningkatan profesionalisme mereka. Karena itu, mekanismenya perlu dirancang sebaik mungkin sebelum peningkatan kesejahteraan mereka dilakukan. Jangan sampai seperti yang terjadi pada proses sertifikasi guru selama ini. Karena proses sertifikasi yang dilakukan tidak memadai, maka pemberian tunjangan profesi kepada guru-guru kurang mendorong peningkatan profesionalisme mereka. Ini berarti bahwa peningkatan kesejahteraan pendidik tidak berimplikasi bagi kesejahteraan masyarakat secara umum. Tuntutan keadilan berikutnya adalah berkaitan dengan pemberian pelayanan pendidikan bagi masyarakat secara umum. Dengan mata telanjang, saat ini kita bisa melihat ketimpangan- ketimpangan dalam penyaluran dana kepada sekolah-sekolah yang ada di tanah air. Sekolah- sekolah diperkotaan, terutama yang dipandang lebih maju, sangat sering mendapat gelontoran dana dari pemerintah. Sementara, sebagian besar sekolah yang berada di pedesaan atau sekolah yang dianggap kurang berprestasi jarang memperoleh dana dari pemerintah. Akibatnya, ketimpangan sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah-sekolah yang dipandang
·         4. maju dengan sekolah-sekolah lainnya semakin lebar. Karena, salah satu determinan keunggulan lembaga pendidikan adalah besarnya anggaran pengembangan yang dimiliki. Dan yang lebih memilukan, ‘sekolah-sekolah maju’ ini biasanya mematok harga yang cukup mahal bagi siswa-siswanya. Pasalnya, sekolah dengan fasilitas relatif ‘glamour’ ini pasti menjadi rebutan masyarakat. Maka, berapa pun tarif yang dikenakan kepada siswa, sekolah- sekolah demikian pasti menjadi rebutan. Siswa-siswa yang ingin masuk ke sana harus melalui arena persaingan yang sangat ketat. Dan parameter untuk diterima di sekolah-sekolah tersebut adalah tingkat status sosial orangtua siswa. Dengan parameter demikian, anaknya orang miskin menjadi ‘diharamkan menginjakkan kaki’ di sekolah-sekolah favorit tersebut. Dengan begitu, pemanfaatan anggaran pendidikan untuk pengembangan sarana pendidikan telah menjadi sarana yang mempertajam segregasi sosial. Padahal, seharusnya anggaran tersebut menjadi sarana untuk menciptakan keadilan di tengah masyarakat. Dengan fenomena di atas, harus dibuat aturan yang jelas untuk menyalurkan anggaran pendidikan tersebut. Anggaran pendidikan nasional seharusnya berfungsi untuk memberikan pelayanan pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat. Untuk itu, maka pertama kali yang harus dilakukan adalah menetapkan standard bagi sarana dan prasarana lembaga pendidikan yang berlaku secara nasional. Kemudian, dengan parameter tersebut, dilakukan pemetaan bagi sekolah-sekolah yang ada. Dari sini akan ditemukan sekolah- sekolah yang berada di bawah standard. Tahap berikutnya adalah merencanakan pembiayaan bagi peningkatan kualitas sekolah-sekolah di bawah standard ini. Peningkatan kualitas ini tentu bukan saja dalam bidang sarana, tetapi juga meliputi manajemen, SDM, serta layanan penunjang pendidikan lainnya. Dengan begitu, disparitas antara sekolah maju dan sekolah terbelakang bisa direduksi. Dan akhirnya, seluruh warga masyarakat, baik kaya mau pun miskin, akan dapat memperoleh pelayanan pendidikan secara relatif adil. Yang kedua, penggunaan anggaran pendidikan harus disertai mekanisme kontrol yang memadai. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa depdiknas merupakan salah satu institusi tempat tumbuh suburnya tindakan korupsi. Sebagai contoh, berdasarkan audit BPK diketahui bahwa terdapat “6 dari sepuluh sekolah menyimpangkan dana BOS dengan rata-rata penyimpangan Rp 13,7 juta persekolah”. Selain itu, berdasarkan audit BPK juga diketahui “3 dari dinas kabupaten/kota mengarahkan pengelolaan dana DAK pada pihak ketiga”. Terakhir, berdasarkan perhitungan ICW terhadap audit BPK terhadap anggaran Depdiknas sampai semester I tahun 2007, diketahui terdapat dana sekitar Rp 852,7 miliar yang berpotensi diselewengkan.( AkhmadSudrajat : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/09/23/inilah-korupsi-di-dunia-pendidikan-kita/ ) Untuk mereduksi praktek-praktek korupsi di dunia pendidikan, maka diperlukan langkah- langkah sebagai berikut : 1. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan di Depdiknas. Jika perlu, laporan-laporan 2. Memaksimalkan peranan Komite Sekolah. Barangkali kita semua sudah mahfum bahwa peranan Komite Sekolah saat ini tak ubahnya dengan peranan BP3 jaman sebelumnya. Peranannya sebatas tukang stempel hasrat pihak sekolah untuk mengeruk dana masyarakat untuk kepentingan yang kurang bisa dipertanggung-jawabkan. Maka, perlu dibuat regulasi untuk lebih memberdayakan peran komite sekolah dalam mengontrol penggunaan dana oleh manajemen sekolah. 3. Pemerintah harus menetapkan angka maksimal yang boleh ditarik dari orangtua siswa oleh sekolah. Pembatasan ini diperlukan untuk mencegah perilaku ugal-ugalan pihak sekolah dalam mengeruk dana masyarakat ( orantua siswa ). 4. Meningkatkan penindakan terhadap kasus korupsi di dunia pendidikan. Peningkatan seperti ini perlu dilakukan mengingat potensi kerugian negara akibat korupsi di dunia pendidikan
·         5. cukup tinggi, apalagi jika diingat bahwa saat ini anggaran pendidikan saat ini cukup tinggi. Jika perlu, dibentuk komisi khusus ( semacam KPK ) yang dikhususkan menangani korupsi di dunia pendidikan. Komisi ini memiliki kewenangan menindak korupsi mulai dari tingkat kementerian hingga tingkat sekolah. Jika saja anggaran pendidikan sebesar 20% digunakan dengan perencanaan yang matang, dengan memperhatikan azas pemerataan dan keadilan, dan dengan mekanisme kontrol yang memadai, maka cita-cita memberikan pendidikan dasar gratis bagi semua bukan lagi menjadi mimpi. Bahkan, bisa jadi untuk jenjang menengah atas juga bisa digratiskan. Hal ini perlu menjadi pertimbangan serius, mengingat, untuk bisa bekerja dengan penghasilan relatif layak, seseorang harus tamat jenjang menengah atas. B. Tujuan Pendidikan Nasional Yang Memberdayakan Para ahli berpendapat bahwa saat ini bangsa kita mengalami krisis multidimensional. Artinya, kita sedang mengalami krisis di bidang ekonomi, politik, ideologi, budaya dan lainnya. Mengapa hal ini terjadi ? Prof. Dr. Soedijarto, MA dalam bukunya ‘Landasan dan Arah Pendidikan Nasional’ memandang bahwa hal ini ( krisis multidimensional ) terjadi tidak lain karena pendidikan yang kita selenggarakan belum bermakna sebagai transformasi budaya menuju mantapnya kehidupan negara bangsa Indonesia. Belum mantapnya sistem politik, belum mapannya sistem ekonomi nasional, tetap rendahnya produktivitas dan etos kerja nasional, belum adanya suatu pola budaya nasional yang andal, dan rentannya solidaritas dan ketahanan nasional, bukan karena belum diadakannya berbagai lembaga politik atau belum tersedianya infra struktur politik seperti partai politik dan media pers, dan juga bukan karena belum adanya lembaga-lembaga ekonomi dan berbagai lembaga kebudayaan lainnya seperti lembaga riset dan kajian, melainkan karena belum tertananmnya di dalam diri setiap warga negara nilai-nilai budaya modern. ( halaman 91 ) Mengapa ini terjadi ? Karena rancangan pendidikan kita tidak mengupayakan terinternalisasikannya nilai-nilai modern pada diri peserta didik. Pendidikan kita lebih mengutamakan hafalan-hafalan teori dan ketrampilan-ketrampilan teknik semata, seraya mengabaikan nilai-nilai hidup modern. Maka, tidak mengherankan jika anak-anak muda kita fasih lidahnya mengucapkan teori-teori yang diberikan gurunya dan menguasai ketrampilan- ketrampilan tehnik, tetapi kurang memahami bagaimana dengan itu mereka dapat berbuat untuk diri dan bangsanya. Selain itu, kurikulum pendidikan kita juga relatif mengabaikan potensi-potensi bawaan peserta didik. Di sini, tampaknya ada kesalahan kita di dalam memaknai arti mendidik. Jika dilihat dari praktek-praktek yang terjadi di dunia pendidikan kita selama ini, sepertinya yang dinamakan mendidik adalah ‘memasukkan’ teori-teori dan ketrampilan yang disayaratkan oleh kurikulum kepada peserta didik. Peserta didik yang tidak mampu menguasai teori dan praktek yang dipersyaratkan tersebut akan dianggap gagal dalam proses pendidikannya. Dengan praktek pendidikan yang demikian, dunia pendidikan kita berpretensi akan menghasilkan manusia-manusia yang relatif sama dan sebangun. Dalam model seperti ini, tidak memungkinkan bagi pertumbuhan potensi-petensi yang menjadi karakteristik individu masing-masing pesrta didik. Maka, akibat logisnya adalah dunia pendidikan kita tidak mampu melahirkan manusia-manusia kreatif dan inovatif. Dunia pendidikan kita hanya mampu menghasilkan manusia-manusia pembebek dan tukang. Di dalam mendidik, Ki Hajar Dewantoro berpandangan bahwa pendidikan merupakan tuntunan bagi berkembangnya anak-anak. Mereka adalah makhluk hidup yang memiliki kodrat dan potensi tumbuh dan berkembangnya masing-masing. Tugas pendidik adalah membantu mereka untuk menumbuh-kembangkan kodrat dan potensinya masing-masing
·         6. untuk mencapai derajad optimal. Pendidik tidak bisa dan tidak boleh memaksakan kehendak bagi kodrat anak-anak seperti keinginan pendidik. Pemaksaan seperti ini identik dengan penjajahan. Seperti dikemukakan di atas, penajahan bertentangan dengan kodrat dan cita-cita pendidikan Ki Hajar Dewantoro. Beliau memberi analog yang mudah dimengerti untuk ini. Seorang petani tidak bisa merubah padi menjadi jagung. Jika ia menanam padi, panennya pasti padi. Ia tidak bisa merubah kodrat tersebut. Apa yang bisa ia lakukan adalah menumbuhkan padi dengan memperbaiki tanahnya, memberinya pupuk, memelihara tanamannya, dan menghilangkan hamanya. Tugas pendidik relatif sama dengan petani. Ia, seharusnya, hanya berperan dalam membimbing anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan, bakat dan segenap potensi anak didiknya bagi keberhasilan hidupnya di masa akan datang. Pendidik tidak bisa merubah kodrat kecerdasan, bakat dan potensi peserta didiknya. Setelah itu, pendidik juga harus membantu peserta didik menangkal pengaruh-pengaruh jahat ( hama ) yang bisa merusak dirinya, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya bisa optimal. Di dalam pendidikan, hama-hama apa saja yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pribadi peserta didik ? Pada hemat penulis, ada dua macam ‘hama’ yang dapat menganggu proses tersebut, yakni yang berasal dari internal dan eksternal. Yang dimaksud dari internal adalah ‘hama’ yang berasal dari sifat kodrati manusia itu sendiri. Sedangkan yang dari luar adalah pengaruh-pengaruh dari lingkungan hidup individu bersangkutan. Apa wujud ‘hama’ yang melekat di dalam diri manusia ? Menurut Frued, manusia itu memiliki kecenderungan mencari kesenangan dan suka bermalas-malasan. Kedua kecenderungan tersebut, jika tidak dikendalikan, akan sangat menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, baik masa sekarang mau pun masa yang akan datang. Sedangkan faktor eksternal ialah hal-hal yang bisa berpengaruh negatif bagi diri peserta didik yang berasal dari luar dirinya. Yang perlu dipahami bahwa faktor eksternal tersebut bisa berpengaruh negatif karena ditujukan untuk ‘memuaskan’ hasrat dari kedua kecenderungan di atas. Pengaruh-pengaruh yang mendukung sifat malas dan suka bersenang-senang ini bisa dikendalikan jika sejak anak-anak telah dididik untuk memperkuat potensi rasional mereka. Oleh karena itu, setiap manusia harus mampu mengelola dua kecenderungan tersebut. Di sinilah letak dari peranan dunia pendidikan, yakni melatih peserta didik agar memiliki komampuan mengelola kecenderungan-kecenderungan itu supaya bisa mengoptimalkan potensi-potensi pribadinya masing-masing. Dengan paradigma seperti ini, model-model yang mengukur keberhasilan peserta didik dengan patokan tertentu atau dengan membandingkan prestasi seseorang dengan rata-rata kelas tidaklah bisa dibenarkan. Model pengukuran seperti ini dapat merusak kepercayaan diri peserta didik. Selain itu, model seperti itu jelas berasumsi bahwa setiap orang ‘harus’ memiliki kemampuan yang relatif sama. Perbedaan ( di grade bawah dari rata-rata ) dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Karena itu, model ini jelas mengabaikan karakteristik individu masing-masing peserta didik. Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa tujuan pendidikan nasional itu mesti meliputi dua segi. Pertama, mempersiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan berpartisipasi bagi pembangunan bangsa. Ini dicapai dengan memberikan teori-teori dan ketrampilan tertentu, serta dengan penanaman nilai-nilai budaya modern. Kedua, pendidikan juga bertujuan mengembangkan potensi, minat dan bawaan yang dimiliki masing-masing siswa. C. Model Penilaian Yang Memberdayakan Apakah dengan model pendidikan seperti yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantoro di atas tidak memberlakukan adanya evaluasi ? Jelas bukan demikian. Evaluasi terhadap proses belajar mengajar tetap diperlukan untuk mengukur tingkat keberhasilan atau pencapaian hasil
·         7. belajar peserta didik. Tetapi evaluasi yang dikembangkan pasti tidak sama dengan yang dilakukan oleh sebagian besar guru-guru kita saat ini. Selama ini, yang disebut evaluasi hasil belajar itu selalu dilakukan diakhir sebuah periode pembelajaran. Pada peserta didik diberi soal-soal yang harus dijawab. Tes tersebut umumnya berupa menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar segala pengetahuan yang pernah disampaikan sang guru sebelumnya. Semakin banyak yang diingat dari pengetahuan yang diberikan guru, murid dikatakan semakin pandai. Sebaliknya, jika jawaban-jawaban murid banyak yang tidak sama dengan yang pernah diterangkan oleh gurunya, yang bersangkutan diberi stigma bodoh. Bukankah arti dari penilaian yang menggunakan skala A sampai E, atau angka 1 sampai 10/100 berarti sebuah skala dari paling bodoh sampai paling pandai ? Jika pendidikan diasumsikan sebagai bimbingan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengembangkan segala potensinya, maka model evaluasi hasil belajarnya bertentangan dengan model penilaian seperti digambarkan di atas. Evaluasi di dalam model ini adalah berupa bantuan kepada peserta didik untuk mengenali kelemahan-kelemahannya dalam proses belajarnya. Model pembelajaran seperti ini berasumsi bahwa setiap peserta didik memiliki keinginan, harapan atau tujuan masing-masing di dalam belajarnya sesuai dengan bakat, minat dan potensinya masing-masing. Tugas guru adalah membantu peserta didiknya untuk mewujudkan tujuannya masing-masing. Nah, di dalam mencapai tujuan ini pasti masing- masing murid akan menemui masalah-masalah. Di sinilah peran evaluasi belajar. Guru memberi feedback kepada masing-masing murid tentang kelemahan-kelemahan muridnya dan membantu mereka mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut. Dengan demikian, evaluasi belajar dilakukan selama proses belajar muridnya. Dan, dari uraian tersebut juga jelas bahwa yang paling berkompeten melakukan evaluasi belajar bagi murid-murid hanyalah gurunya, karena merekalah yang paling tahu potensi-potensi murid. Menteri pendidikan tidak memiliki hak untuk menilai dan menentukan kelulusan murid sebagaimana sekarang melalui Unas. D. Ujian Negara Dengan paradigma pendidikan seperti digambarkan di atas, apakah ujian negara atau yang saat ini dikenal dengan Unas tidak diperlukan ? Tentu ujian negara tetap diperlukan. Tetapi eksistensi Unas ini bukanlah untuk menentukan kelulusan siswa dari jenjang pendidikan tertentu. Karena, yang paling mengetahui keadaan siswa adalah guru. Jadi, yang paling berhak menentukan kelulusan adalah guru. Sedangkan hasil Unas digunakan untuk melakukan pemetaan sekolah-sekolah. Dari hasil Unas ini, akan bisa ditentukan sekolah-sekolah mana yang dikategorikan di bawah standard. Setelah dipetakan, lalu dilakukan langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan kualitas sekolah-sekolah yang berada di bawah standard tersebut. Perbaikan yang dimaksud bisa meliputi kualitas gurunya, para pengelolanya, sarana prasananya, manajemennya dan lain- lain. Selain itu, hasil Unas juga bisa sebagai seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, jika Unas digunakan untuk tujuan ini, maka harus dibuatkan sebuah sistem yang aman dari berbagai kecurangan dalam pelaksanaan Unas seperti saat ini. Baik kecurangan yang dilakukan oleh siswa, guru, sekolah maupun pihak-pihak lain. Selain itu, dalam pembuatan soal-soal yang di-Unas-kan harus melibatkan pihak-pihak dari jenjang pendidikan yang lebih tinggi, janjang pendidikian yang akan dimasuki oleh siswa-siswa tersebut setelah lulus Unas. E. Bahasa Pengantar Last but not least, bahasa pengantar yang digunakan di seluruh jenjang pendidikan menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan Inggris. Sebagai bahasa internasional
·         8. adalah wajar jika semua siswa harus menguasai bahasa Inggris, baik pasif maupun aktif. Selain itu, bahasa Ingrris terbukti telah mampu sebagai sarana bahasa Ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, bahasa Inggris sudah bukan lagi sebagai salah satu mata pelajaran, namun harus ditetapkan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah kita. Untuk tahap awal, tentu digunakan sebagai bahsa pengantar untuk beberapa mata pelajaran saja. Terutama pelajaran-pelajaran sosial. Lalu, sedikit demi sedikit, pelajaran lain menyusul menggunakan bahasa internasional ini.


Kicauan saya tentang pendidikan

pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak
perlu ditegaskan bahwa pendidikan hanya memiliki hak untuk menuntun hidup seseorang anak, seharusnya tidak lebih, bahkan tidak boleh mendorong seorang anak menjadi sesuatu yang mereka tidak inginkan.

dari sini, saya dapat merasakan bahwa makna pendidikan sendiri telah bergeser dari arti harfiahnya. saat mendapatkan pendidikan kita bukan dituntun tapi di arahkan untuk menjadi sesuatu. saya tidak boleh ini, tidak boleh itu, saya salah, saya benar, semuanya diarahkan, hingga saya merasa menjadi seperti robot. inikah pendidikan yang seharusnya saya dapatkan? dari sini, saya mencoba menjawab pertanyaan dari guru bahasa inggris saya. yang saya ketahui tentang pendidikan Indonesia adalah, sistem pendidikan Indonesia membuat anak-anak Indonesia menjadi robot-robot, menjadi manusia tanpa hasrat, tak punya kemauan untuk melakukan yang dia inginkan. padahal nyatanya dalam UU Sisdiknas, sudah tertera pasal-pasal yang jika terimplementasikan dengan baik, kata seorang teman, Indonesia akan menjadi negara dengan sumber daya manusia terbaik. seperti bunyi pasal 3 UU Sisdiknas dibawah ini,

bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3)
pak Anies Baswedan-pun bernah berkata bahwa manusia terdidik, tercerahkan dan berintegritas adalah asset utama Republik Indonesia. masa depan dibangun dengan mencerdaskan manusianya. jika pendidikan Indonesia berhasil mendidik manusia-manusia Indonesia menjadi SDM yang berkualitas, Indonesia pasti mengalahkan Jepang. sayangnya sampai saat ini, permasalahan pendidikan Indonesia tidak sekedar di implementasinya UU Sisdiknas di dunia pendidikan, tapi juga penyebaran guru-guru yang berkualitas yang sadar tentang pendidikan yang baik itu seperti apa juga tidak merata.

pernah saya mendengar suatu kenyataan, ada seorang aktivis pendidikan, saya lupa siapa namanya, berbicara di pemutara Film Tan Malaka dalam pemikirannya tentang pendidikan, bahwa saat ini penyebaran guru-guru baik itu tidak sampai di seluruh Indonesia, akibatnya sekolah berlabel unggulan mendapatkan guru-guru dan fasilitas yang baik pula tentunya, sedangkan sekolah yang biasa-biasa saja akan mendapatkan guru-guru yang biasa saja, dan sekolah berlabel ‘kurang’ juga akan mendapatkan guru yang tidak sebaik guru di sekolah unggulannya. akibatnya, anak-anak yang mampu masuk sekolah unggulan dengan tingkat IQ yang tinggi akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang hanya mampu bersekolah di tempat biasa.

harusnya pendidikan Indonesia bisa jadi solusi atas tantangan-tantangan di negara ini, pendidikan juga lah yang menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, pendidikan juga yang mengkader manusia-manusia Indonesia, sehingga memiliki karakter. sayangnya lagi, pendidikan, baik sistem maupun pelengkapnya masih belum berhasil membuat ini menjadi nyata. sekolah sebagai wadah penyampaian pendidikan, belum berhasil membuat pendidikan menjadi pendidikan sesungguhnya, sekolah membatasi ruang gerak-ruang gerak anak-anak Indonesia, membenarkan yang salah, dan menyalahkan yang benar, anak-anak tidak dibiarkan menggunakan imajinasinya.

tapi jangan lupa masalah pendidikan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah sebagai organisasi yang mengatur segalanya di negara ini, rakyat sebagai bagian dari negara ini juga memiliki porsi untuk membantu keberjalanan sistem pendidikan yang ideal, mulai dari keluarga, lebih dulu, lingkungan sekitar, baru porsi sekolah. bahkan pendidikan paling melekat kepada seseorang anak itu adalah pendidikan dalam keluarganya, baru kemudian sekolah dan lingkungannya. seperti kata Pak Anies (lagi), education starts from home. be a prepared parent. negara ini juga memiliki janji kemerdekaan tentang pendidikan yang tercantum pada
UUD 1945, yaitu salah satunya ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.

maka mulai dari detik ini juga, marilah masing-masing dari diri kita menyadarkan bahwa kita memiliki peranan penting dari keberjalanan pendidikan di Indonesia, karena tiap-tiap dari kita memiliki tanggung jawab, minimal dari ‘rumah’ kita masing-masing, kemudian baru lingkungan sekitar.
juga yang mengkader manusia-manusia Indonesia, sehingga memiliki karakter. sayangnya lagi, pendidikan, baik sistem maupun pelengkapnya masih belum berhasil membuat ini menjadi nyata. sekolah sebagai wadah penyampaian pendidikan, belum berhasil membuat pendidikan menjadi pendidikan sesungguhnya, sekolah membatasi ruang gerak-ruang gerak anak-anak Indonesia, membenarkan yang salah, dan menyalahkan yang benar, anak-anak tidak dibiarkan menggunakan imajinasinya.

tapi jangan lupa masalah pendidikan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah sebagai organisasi yang mengatur segalanya di negara ini, rakyat sebagai bagian dari negara ini juga memiliki porsi untuk membantu keberjalanan sistem pendidikan yang ideal, mulai dari keluarga, lebih dulu, lingkungan sekitar, baru porsi sekolah. bahkan pendidikan paling melekat kepada seseorang anak itu adalah pendidikan dalam keluarganya, baru kemudian sekolah dan lingkungannya. seperti kata Pak Anies (lagi), education starts from home. be a prepared parent. negara ini juga memiliki janji kemerdekaan tentang pendidikan yang tercantum pada
UUD 1945, yaitu salah satunya ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.

maka mulai dari detik ini juga, marilah masing-masing dari diri kita menyadarkan bahwa kita memiliki peranan penting dari keberjalanan pendidikan di Indonesia, karena tiap-tiap dari kita memiliki tanggung jawab, minimal dari ‘rumah’ kita masing-masing, kemudian baru lingkungan sekitar.

Konsep Dasar Pembelajaran Aktif Untuk Mengaktifkan Siswa dalam Belajar .


Pembelajaran aktif (active learning) tampaknya telah menjadi pilihan utama dalam praktik pendidikan saat ini. Di Indonesia, gerakan pembelajaran aktif ini terasa semakin mengemuka bersamaan dengan upaya mereformasi pendidikan nasional, sekitar akhir tahun 90-an. Gerakan perubahan ini terus berlanjut hingga sekarang dan para guru terus menerus didorong untuk dapat menerapkan konsep pembelajaran aktif dalam setiap praktik pembelajaran siswanya.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa inti dari reformasi pendidikan ini justru terletak pada perubahan paradigma pembelajaran dari model pembelajaran pasif ke model pembelajaran aktif.
Merujuk pada pemikiran L. Dee Fink dalam sebuah tulisannya yang berjudul Active Learning, di bawah ini akan diuraikan konsep dasar pembelajaran aktif. Menurut L. Dee Fink, pembelajaran aktif terdiri dari dua komponen utama yaitu: unsur pengalaman (experience), meliputi kegiatan melakukan (doing) dan pengamatan (obeserving) dan dialogue, meliputi dialog dengan diri sendiri (self) dan dialog dengan orang lain (others)
Pembelajaran Aktif
Dialog dengan Diri (Dialogue with Self) :
Dialog dengan diri adalah bentuk belajar dimana para siswa melakukan berfikir reflektif mengenai suatu topik. Mereka bertanya pada diri sendiri, apa yang sedang atau harus dipikirkan, apa yang mereka rasakan dari topik yang dipelajarinya. Mereka “memikirkan tentang pemikirannya sendiri, (thinking about my own thinking)”, dalam cakupan pertanyaan yang lebih luas, dan tidak hanya berkaitan dengan aspek kognitif semata.
Dialog dengan orang lain (Dialogue with Others) :
Dalam pembelajaran tradisional, ketika siswa membaca buku teks atau mendengarkan ceramah, pada dasarnya mereka sedang berdialog dengan “mendengarkan” dari orang lain (guru, penulis buku), tetapi sifatnya sangat terbatas karena didalamnya tidak terjadi balikan dan pertukaran pemikiran. L. Dee Fink menyebutnya sebagai “partial dialogue“
Bentuk lain dari dialog yang lebih dinamis adalah dengan membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil (small group), dimana para siswa dapat berdiskusi mengenai topik-topik pelajaran secara intensif. Lebih dari itu., untuk melibatkan siswa ke dalam situasi dialog tertentu, guru dapat mengembangkan cara-cara kreatif, misalnya mengajak siswa untuk berdialog dengan praktisi, ahli, dan sebagainya. baik yang berlangsung di dalam kelas maupun di luar kelas, melalui interaksi langsung atau secara tertulis.
Mengamati (Observing) :
Kegiatan ini terjadi dimana para siswa dapat melihat dan mendengarkan ketika orang lain “melakukan sesuatu (doing something)” , terkait dengan apa yang sedang dipelajarinya. Misalnya, mengamati guru sedang melakukan sesuatu. Misalnya, guru olah raga yang sedang memperagakan cara menendang bola yang baik, guru komputer yang sedang membelajarkan cara-cara browsing di internet, dan sebagainya,Selain mengamati peragaan yang ditampilkan gurunya, siswa juga dapat diajak untuk mendengarkan dan melihat dari orang lain, misalnya menyaksikan penampilan bagaimana cara kerja seorang dokter ketika sedang mengobati pasiennya, menyaksikan seorang musisi sedang memperagakan kemahirannya dalam memainkan alat musik gitar, dan sebagainya. Begitu juga siswa dapat diajak untuk mengamati fenomena-fenomena lain, terkait dengan topik yang sedang dipelajari, misalnya fenomena alam, sosial, atau budaya.
Tindakan mengamati dapat dilakukan secara “langsung” atau “tidak langsung.” Pengamatan langsung artinya siswa diajak mengamati kegiatan atau situasi nyata secara langsung. Misalnya, untuk mempelajari seluk beluk kehidupan di bank, siswa dapat diajak langsung mengunjungi bank-bank yang ada di daerahnya. Sedangkan pengamatan tidak langsung, siswa diajak melakukan pengamatan terhadap situasi atau kegiatan melalui simulasi dari situasi nyata, studi kasus atau diajak menonton film (video). Misalnya unruk mempelajari seluk beluk kehidupan di bank, siswa dapat diajak menyaksikan video tentang situasi kehidupan di sebuah bank.
Melakukan (Doing):
Kegiatan ini menunjuk pada proses pembelajaran di mana siswa benar-benar melakukan sesuatu secara nyata. Misalnya, membuat desain bendungan (bidang teknik), mendesain atau melakukan eksperimen (bidang ilmu-ilmu alam dan sosial), menyelidiki sumber-sumber sejarah lokal (sejarah), membuat presentasi lisan, membuat cerpen dan puisi (bidang bahasa) dan sebagainya. Sama halnya dengan mengamati (observing), kegiatan “melakukan” dapat dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung
Terkait dengan upaya mengimplementasikan konsep di atas, L. Dee Fink menyampaikan 3 (tiga) saran, sebagai berikut:
1. Memperluas jenis pengalaman belajar.
Buatlah kelompok-kelompok kecil siswa dan meminta mereka membuat keputusan atau menjawab sebuah pertanyaan terfokus secara berkala.
Temukan cara agar siswa dapat terlibat dalam berbagai dialog otentik dengan orang lain, di luar teman-teman sekelasnya (di website, melalui email, atau dalam kehidupan nyata).
Dorong siswa untuk membuat jurnal pembelajaran atau portofolio belajar. Guru dapat meminta para siswa untuk menuliskan tentang apa yang mereka pelajari, bagaimana mereka belajar, apa peran pengetahuan yang dipelajarinya untuk kehidupan mereka sendiri, bagaimana hal ini membuat mereka merasa, dan sebagainya.
Temukan cara untuk membantu siswa agar dapat mengamati sesuatu yang ingin dipelajarinya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Temukan cara yang memungkinkan siswa untuk benar-benar melakukan sesuatu yang dipelajarinya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Mengambil manfaat dari “Power of Interaction.”
Dari keempat bentuk belajar di atas, masing-masing memiliki nilai tersendiri, tetapi apabila keempat bentuk belajar tersebut (Dialogue with Self, Dialogue with Others, Observing, dan Doing) dikombinasikan secara tepat, maka akan dapat memberikan efek belajar yang lebih kaya kepada para siswa.
Para pendukung Problem-Based Learning menyarankan kepada para guru untuk mengawalinya dengan kegiatan “Doing”, dimana guru terlebih dahulu mengajukan berbagai masalah nyata (real problem) untuk diselesaikan oleh siswanya. Kemudian, siswa diminta untuk berkomunikasi dan berkonsultasi dengan rekan-rekan sekelompoknya (Dialogue with Others) untuk menemukan cara-cara terbaik guna memecahkan masalah nyata yang telah diajukan. Setelah para siswa saling berkomunikasi dan berkonsultasi, selanjutnya para siswa akan melakukan berbagai macam bentuk belajar sesuai pilihannya, termasuk didalamnya melakukan Dialogue with Self dan Observing.
3. Membuat dialektika antara pengalaman dan dialog.
Melalui pengalaman (baik melalui doing dan observing) siswa memperoleh perspektif baru tentang apa yang benar (keyakinan) dan apa yang baik (nilai). Sementara melalui dialog dapat membantu siswa untuk mengkonstruksi berbagai makna dan pemahamannya.
Untuk menyempurnakan prinsip interaksi sebagaimana dijelaskan di atas yaitu dengan melakukan dialektika antara kedua komponen tersebut. Dalam hal ini, secara kreatif guru dapat mengkonfigurasi dialektika antara pengalaman baru yang kaya dan mendalam dengan dialog yang bermakna, sehingga pada akhirnya siswa benar-benar dapat memperoleh pengalaman belajar yang signifikan dan bermakna


Pembelajaran

Belajar dan Pembelajaran

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik.Pembelajaran berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreatifitas pengajar. Pembelajar yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut akan membawa pada keberhasilan pencapaian target belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memandai, ditambah dengan kreatifitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah mencapai target belajar.

Pendidikan

Pendidikan Nasional


Pendidikan Nasional di Indonesia sangat perlu untuk dipelajari dan dipahami agar kita mengerti tujuan dan system pendidikan yang kita anut. Disamping tujuan dan sistem pendidikan kita juga perlu mengetahui jenjang atau strata-strata pendidikan nasional.
Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional
Untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tingkat Pendidikan Dasar
Program pendidikan nasional di Indonesia yang melandasi jenjang menengah. Dalam menunjang terselenggaranya kependidikan dasar, pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Dalam hal ini pemerintah juga mempunyai tanggungjawab dalam hal pengelolaan, pembangunan, pengadaan, dan pembinaan. Pemerintah melalui kementerian (kemdiknas), dapat juga menjadi partner akademik yang baik dengan memberikan penghargaan, beasiswa prestasi, dll.
Bentuk dan jenjang kependidikan sekolah terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtida’iyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), serta bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan Menengah
Tingkat lanjutan dari pendidikan nasional dasar, yang terdiri atas menengah umum dan kejuruan, artinya, lulusan sekolah / tingkat dasar (SD dan SMP) akan dilanjutkan dengan tingkat menengah. Adapun bentuknya, sebagaimana yang telah umum disekeliling kita, yakni;
1. Sekolah Menengah Atas (SMA),
2. Madrasah Aliyah (MA),
3. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
4. Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan Tinggi
Tingkat keilmuan lanjut dari tingkat menengah. Mencakup program diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Bentuknya bisa bermacam-macam, diantaranya adalah; akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, universitas. Sebagai jenjang tinggi, PT berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan tinggi juga dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
Selain program pendidikan nasional diatas, ada jenjang yang tidak termasuk dalam urutan jenjang formal, yakni nonformal atau pendidikan luar sekolah.
Pendidikan nonformal
Pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Hal ini berfungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Yakni merupakan pendidikan yang diarahkan untuk menanamkan kompetensi tertentu secara khusus, membentuk tenaga-tenaga profesional yang memiliki kemampuan khusus sesuai dengan kurikulum dan rencana seerta satuan pendidikan yang bersangkutan oleh masing-masing penyelenggara.
Ada beberapa bentuk dan jenis pendidikan nasional nonformal, diantaranya adalah kecakapan hidup, anak usia dini, kepemudaan, pemberdayaan perempuan, keaksaraan, keterampilan dan pelatihan kerja, kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Pendidikan non formal dapat diselenggarakan oleh lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Program Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Pendidikan Informal
Pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan atau juga adalah jalur pendidikan luar sekolah, berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil jalur ini dapat diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Selain beberapa bentuk pendidikan baik formal, nonformal, maupun informal diatas, ada juga bentuk pendidikan lain yang akan dijelaskan secara definitif. Bentuk-bentuk pendidikan tersebut adalah;
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Program yang diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar dan dapat diselenggarakan melalui jalur formal, nonformal, dan/atau informal. Jalur formalnya adalah TK dan RA atau bentuk lain yang sederajat. Bentuk non formalnya adalah Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitipan Anak (TPA) dan bentuk lain yang sederajat. Dalam bentuk informal, adalah pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Pendidikan Kedinasan
Program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen. Berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan (sumber daya manusia ) dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen dan dapat diselenggarakan baik melalui jalur formal dan nonformal.
Pendidikan Keagamaan
Program pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan dapat berbentuk diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Pendidikan Jarak Jauh
Dapat diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus

Program bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Program layanan khusus adalah program bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.